Wednesday, March 9, 2016
Sunday, February 14, 2016
TARIF BIAYA PEMERIKSAAN INSTALASI (BPI) LISTRIK PELANGGAN
DAYA
|
PER VA
|
BIAYA PEMERIKSAAN
|
450
|
|
Rp 60.000
|
900
|
|
Rp 70.000
|
1.300
|
|
Rp 85.000
|
2.200
|
|
Rp 95.000
|
3.500
|
|
Rp 105.000
|
4.400
|
|
Rp 132.000
|
5.500
|
Rp
30,-
|
Rp 165.000
|
6.600
|
|
Rp 198.000
|
7.700
|
|
Rp 231.000
|
10.600
|
|
Rp 265.000
|
11.000
|
|
Rp 275.000
|
13.200
|
Rp
25,-
|
Rp 330.000
|
16.500
|
|
Rp 412.500
|
23.000
|
|
Rp 575.000
|
33.000
|
|
Rp 660.000
|
41.500
|
Rp
20,-
|
Rp 830.000
|
53.000
|
|
Rp 1.060.000
|
66.000
|
|
Rp 1.320.000
|
82.500
|
|
Rp 1.443.750
|
105.000
|
|
Rp 1.837.500
|
131.000
|
Rp
17,50-
|
Rp 2.292.500
|
147.000
|
|
Rp 2.572.500
|
197.000
|
|
Rp 3.447.500
|
Wednesday, October 14, 2015
Gugat Aturan “Unbundling”, Serikat Pekerja PLN Perbaiki Permohonan
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) pada Senin (12/10) siang. Pemohon adalah Adri dan Eko Sumantri selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) yang menguji Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan.
Pada sidang tersebut, Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan dari permohonannya. Terkait pokok permohonan, Pemohon menegaskan bahwa Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. “Bahwa Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan, terdapat pembagian usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang menyebabkan PLN tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kuasa usaha perlistrikan, tapi menjadi bagian perusahaan-perusahaan yang dapat melakukan usaha tenaga listrik untuk kepentingan umum,” papar kuasa hukum Pemohon Muhammad Fadrian Hadi Sutianto, di Ruang Sidang MK.
Selain itu, ungkap Sutianto, terdapat penambahan pasal yang diujikan, yakni Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan. Pemohon menganggap, sepanjang frasa “badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang tenaga listrik” dalam Pasal Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut memberikan peluang kepada badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat untuk berusaha di bidang tenaga listrik, padahal seharusnya hanya PLN yang berhak melakukannya.
“Sementara ketenagalistrikan dalam hal ini merupakan kebutuhan dasar yang memiliki kepentingan dan wajib untuk dipenuhi karena tersangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, hanya BUMN dalam hal ini PLN yang dapat melakukan usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum,” tegas Sutianto kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Sebagaimana diketahui, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, ketentuan tersebut dapat mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Menurut Pemohon, materi muatan ketentuan yang diujikan tersebut memuat mengenai pengelolaan dalam penyediaan usaha tenaga listrik secara terpisah (unbundling) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat untuk memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran serta korporasi swasta nasional, multinasional, maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik. Pemohon menganggap, ketentuan tersebut merupakan pengulangan dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK dalam Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu menurut Pemohon, frasa ”prinsip usaha sehat” dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ”secara berbeda” dalam Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan mencerminkan adanya semangat bahwa dalam hal harga jual tenaga listrik maupun tarif tenaga listrik untuk konsumen, maka pemerintah dan pemerintah daerah memerhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Berdasarkan hal itu, kemudian Pemohon menganggap bahwa ada variabel yang memengaruhi harga jual tenaga listrik, yakni nilai keuntungan bagi badan usaha dan adanya potensi terjadinya kartelisasi, sehingga tarif tenaga listrik akan mahal. (Nano Tresna Arfana/IR)
Sumber : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Tuesday, October 13, 2015
Duh, Ribuan Rumah di Sleman Belum Tersambung Jaringan Listrik
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sebanyak 4.878 rumah keluarga miskin di
Kabupaten Sleman masih menggunakan sumber penerangan utama non-PLN.
Tahun ini, Pemerintah Kabupaten Sleman baru merencanakan penyambungan
jaringan listrik ke 2.000 rumah.
Penyambungan jaringan listrik tahun ini mendapat alokasi anggaran dari APBD-Perubahan 2014 sebesar Rp3,6 miliar. Kepala Sie Pengembangan Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral (SDAEM) Kabupaten Sleman, Purwoko, mengungkapkan pemasangan instalasi listrik ke 2.000 sambungan rumah (SR) ditargetkan selesai pada akhir Desember. Sementara sisanya akan dikerjakan pada 2015.
"Orientasi tahun ini kami tujukan untuk rumah yang sudah dekat dengan jaringan listrik karena waktunya singkat," ujarnya ditemui Senin (11/8).
Rumah keluarga miskin yang belum tersambung jaringan listrik PLN paling banyak berada di Kecamatan Tempel dengan 779 unit. Di wilayah Prambanan, sebanyak 591 rumah belum tersambung dengan jaringan listrik PLN.
"Di Kecamatan Prambanan banyak rumah yang jauh dari jaringan lisrik," ujar Purwoko.
Sementara, Kecamatan Seyegan dan Kalasan juga masih memiliki rumah tanpa sambungan listrik PLN hingga masing-masing lebih dari 300 unit.
Setiap rumah akan mendapat instalasi listrik dengan daya 450 VA, tiga titik lampu, satu stop kontak, dan pulsa senilai Rp50 ribu. Seluruh anggaran yang dibutuhkan untuk pemasangan instalasi listrik mencapai Rp8,3 miliar. "Kami berharap sudah tidak ada sumber penerangan utama non-PLN pada 2016," ujar Purwoko.
Penyambungan instalasi listrik untuk keluarga miskin sebelumnya tidak masuk dalam nota perubahan APBD Sleman 2014. Poin anggaran tersebut baru masuk dalam pembahasan anggaran perubahan pada Ahad (10/8) yang kemudian disahkan Senin pagi.
Sumber : Republika
Penyambungan jaringan listrik tahun ini mendapat alokasi anggaran dari APBD-Perubahan 2014 sebesar Rp3,6 miliar. Kepala Sie Pengembangan Dinas Sumber Daya Air, Energi, dan Mineral (SDAEM) Kabupaten Sleman, Purwoko, mengungkapkan pemasangan instalasi listrik ke 2.000 sambungan rumah (SR) ditargetkan selesai pada akhir Desember. Sementara sisanya akan dikerjakan pada 2015.
"Orientasi tahun ini kami tujukan untuk rumah yang sudah dekat dengan jaringan listrik karena waktunya singkat," ujarnya ditemui Senin (11/8).
Rumah keluarga miskin yang belum tersambung jaringan listrik PLN paling banyak berada di Kecamatan Tempel dengan 779 unit. Di wilayah Prambanan, sebanyak 591 rumah belum tersambung dengan jaringan listrik PLN.
"Di Kecamatan Prambanan banyak rumah yang jauh dari jaringan lisrik," ujar Purwoko.
Sementara, Kecamatan Seyegan dan Kalasan juga masih memiliki rumah tanpa sambungan listrik PLN hingga masing-masing lebih dari 300 unit.
Setiap rumah akan mendapat instalasi listrik dengan daya 450 VA, tiga titik lampu, satu stop kontak, dan pulsa senilai Rp50 ribu. Seluruh anggaran yang dibutuhkan untuk pemasangan instalasi listrik mencapai Rp8,3 miliar. "Kami berharap sudah tidak ada sumber penerangan utama non-PLN pada 2016," ujar Purwoko.
Penyambungan instalasi listrik untuk keluarga miskin sebelumnya tidak masuk dalam nota perubahan APBD Sleman 2014. Poin anggaran tersebut baru masuk dalam pembahasan anggaran perubahan pada Ahad (10/8) yang kemudian disahkan Senin pagi.
Sumber : Republika
SISTEM e-PROCUREMENT PT. PLN (PERSERO) MAMPU MEMBERIKAN PENGHEMATAN Rp 400 M/TAHUN
e-PROCUREMENT SEBAGAI DUKUNGAN GOOD
CORPORATE GOVERNANCE
Sebagai
BUMN yang wajib menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) atau dikenal
dengan tata kelola Perusahaan yang baik dalam aspek bisnis dan pengelolaan
perusahaan pada semua jajaran perusahaan, PLN menyusun tatakelola Teknologi
Informasi dalam lingkup bisnis dan pelaksanaan pengelolaan perusahaan. Dukungan
Teknologi Informasi dapat meningkatkan kapabilitas perusahaan dalam memberikan
kontribusi bagi penciptaan nilai tambah, serta mencapai efektifitas dan
efisiensi. Aspek kunci dari prinsip GCG meliputi adil, responsibilitas,
transparansi, independensi, akuntabilitas, keselarasan dan kewajaran serta
tanggung jawab untuk mencapai tujuan perusahaan.
Dengan Panduan
Kebijakan Tata Kelola Teknologi Informasi BUMN (IT Governanve), seluruh BUMN
diminta untuk melaksanakan GCG pada setiap aspek bisnis dan juga pengelolaan
perusahaan pada semua jajarannya.Hal ini dapat mencerminkan dengan sangat baik suatu proses pengambilan keputusan juga leadership dalam penyelenggaran tata kelola Teknologi Informasi.
E-Procurement PLN (eProc) sebagai salah satu aplikasi yang merupakan implementasi dari IT Governance yang mendukung GCG. Terwujudnya aplikasi tersebut merupakan hasil kebijakan Manajemen PT. PLN (Persero) tahun 2000 terkait dengan Informasi Stok Material PLN, Penyusunan HPS, dan Monitoring Pergerakan Material. Sedangkan hasil Amanat RUPS tahun 2003 menetapkan agar PLN mengoptimalkan eProc yang sudah dikembangkan untuk tercapainya harga pembelian yang optimal dan tercapainya inventoru PLN yang efisien. Proses pengadaan secara manual dapat mengakibatkan sulitnya informasi mengenai harga satuan khusus di internal PLN, perlakuan yang tidak sama kepada Calon Penyedia Barang/Jasa (CPBJ), dan lemahnya pertanggung jawaban terhadap proses pegadaan sehingga mengakibatkan resiko di kemudian hari.
Terkait tidak adanya informasi stok barang di gudang, mengakibatkan sulitnya mencapai sasaran stok optimal. Aplikasi eProc mampu membawa manfaat bagi Perusahaan yakni adanya standardisasi proses pengadaan, terwujudnya transparansi dan efisiensi pengadaan yang lebih baik, tersedianya informasi harga satuan khusus di internal PLN, serta mendukung pertanggung-jawaban proses pengadaan. Beberapa kendala dalam implementasi eProc dapat teratasi dengan adanya komitmen pada seluruh jajaran manajemen dan pelaksana pengadaan untuk menggunakan eProc sebagai sarana proses pengadaan barang/jasa di PLN, dan melakukan sosialisasi secara bertahap serta melakukan penyederhanaan proses pengadaan, memanfaatkan teknologi dan pengembangan aplikasi yang bersifat fleksibel.
Ruang lingkup eProc PLN dibagi menjadi 3 (tiga) kebutuhan utama, antara lain : Cataloging Information System, Supply Chain Management (SCM) System, Portal e-Proc PLN. Pada kebutuhan Cataloging Information merupakan pemenuhan kebutuhan atas terbentuknya database katalog material (MDU, sparepart, SCADA, Pembangkit, Bahan Bakar, dll); sharing informasi dari persediaan, bursa, harga satuan, HPS, daftar pemasok; menyusun daftar rencana pengadaan material. Pada kebutuhan SCM System merupakan perwujudan dari pengadaan material melalui bursa antar Unit PLN, pengadaan barang/jasa melalui e-bidding dan e-auction. Sedangkan sarana portal eProc merupakan usaha untuk memberikan hosting portal kepada pihak lain yang inign menggunakan jasa layanan pengadaan barang/jasa, memberikan layanan promosi/iklan melalui portal eProc, dan menjadi pusat penyedia informasi.
Selama tahun 2005-2008, eProc mencatat saving sebesar 4,56% terhadap realisasi Harga Perkiraan Sendiri (HPS), yakni Rp.249,40 Milyar dan pengehematan sebesar Rp.1,6 Trilyun dari Realisasi Rencana Anggaran Biaya (RAB) terhadap Total RAB. Sedangkan total pengadaan yang telah direalisasikan melalui e-Proc selama 4 tahun tersebut adalah sebanyak 3352 pengadaan dari total rencana sebanyak 5071 pengadaan atau 66,1%. Jumlah realisasi pengadaan yang dilakukan melalui e-Proc terhadap rencana pengadaan cenderung meningkat dari tahun 2005 hingga tahun 2008 dengan rata-rata pertumbuhan realisasi pengadaan sebesar 63.91% setiap tahunnya. Sedangkan pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2008 terjadi penpenurunan pertumbuhan sebesar 5,89%. Sedangkan pada tahun 2008, e-Proc berhasil mencatat saving sebesar Rp.90,80 Milyar atau sebesar 4.91% berdasarkan Perolehan HPS terhadap Realisasi HPS dan sebesar Rp.457,9 Milyar atau sebesar 8,06% terhadap Realisasi RAB.
Penekanan terhadap HPS tersebut dapat diraih dengan pelaksanaan e-Auction pada pengadaan melalui pelelangan umum, seleksi umum, dan lainnya. e-Auction adalah teknik penyampaian penawaran harga melalui eProc PLN dimana harga yang sudah disampaikan tersebut dikompetisikan di antara CPBJ selama selang waktu tawar menawar yang ditentukan. Aplikasi eProc PLN merupakan representasi dari Kepres 080 tahun 2003 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sehingga implementasi eProc nanti dapat dijadikan acuan (benchmark) bagi Instansi Pemerintah atau BUMN lainnya.
(Tim eProc PLN - eP&PNA)
"e-PROCUREMEN PT.PLN
(PERSERO) adalah salah satu program yang sangat membantu PLN, untuk mendukung
implementasi
GCG dalam mewujudkan transparansi, control, keadilan
(fairness), penghematan biaya dan mempercepat
proses pengadaan, juga mencegah korupsi dan
pada gilirannya meningkatkan Citra Perusahaan"
Fahmi Mochtar
DIRUT PT PLN (Persero)
GCG dalam mewujudkan transparansi, control, keadilan
(fairness), penghematan biaya dan mempercepat
proses pengadaan, juga mencegah korupsi dan
pada gilirannya meningkatkan Citra Perusahaan"
Fahmi Mochtar
DIRUT PT PLN (Persero)
Sumber : http://eproc.pln.co.id/
Putusan MK Uji Materi SLO dalam UU No. 30 tentang Ketenagalistrikan
Pokok Perkara : Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Pemohon : Ibnu Kholdun, S.H
Amar Putusan : Dikabulkan Sebagian
Status : Mengabulkan Sebagian (Ditolak)
File Pendukung : Klik DisiniSumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
Serikat Pekerja PLN ajukan lagi Uji materi UU 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
MIGASNEWS , JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pekerja PLN kembali mengajukan uji materi Undang-Undang 30 tahun 2009 ke Mahkamah Konstitusi. Sidang Uji Pendahuluan telah diikuti oleh Serikat Pekerja PLN 29 September 2015.
Ketua Umum Serikat Pekerja PLN H.Adri menyampaikan adanya pertentangan dalam Undang-Undang 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan tersebut dengan UUD 1945 , dimana yang lebih diuntungkan adalah pihak swasta daripada kemakmuran rakyat.
Sekjen Serikat Pekerja PLN Eko Sumantri memandang adanya intervensi pihak asing dalam penyusunan dan pembuatan materi Undang-Undang 30 tahun 2009 tersebut. Intervensi tersebut menurut Eko hanya untuk kepentingan-kepentingan bisnis yang menguntungkan oknum-oknum tertentu dari kekayaan alam indonesia melalui PLN.
“Setelah disahkan UU tersebut, banyak pekerja asing di Indonesia yang mengambil alih manajemen kelistrikan. Misal, di Bali, semuanya dari Cina dan juga para pekerjanya. Kalau mau bukti, kita punya data kok,” jelas Eko Sumantri. Oleh karena itu kata Eko, Indonesia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk mengelola sendiri PLN, bahkan harga tarif PLN pun semuanya dikendalikan asing. “Kita sudah kehilangan arah dan bersaing dengan asing. Perusahaan negara dikuasai swasta. Ini mencederai UUD 1945 dan berdampak pada kesejahteraan bersama dalam negara kita,” pungkasnya.
Sementara itu , Koordinator Bantuan Hukum YLBHI, Julius Ibrani angkat bicara soal keberatan Serikat Pekerja PLN Jakarta terhadap lahirnya Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang privatisasi PLN.
“Dalam hal ini, pihak swasta yang menyediakan PLN sedangkan negara hadir sebagai penyewa. Padahal PLN itu milik negara. Ini yang menjadi masalah,” ujar Julius.
Lanjut Julius, UU privatisasi PLN tersebut tidak berbeda jauh dengan UU migas, Sumber Daya Air, dan Pendidikan yang telah dibatalkan karena terindikasi privatisasi.
“Tapi sebenarnya ini amanat IMF terhadap pemerintah dari zaman orde baru, era presiden Seoharto. Semua milik negara diprivatisasi,” jelasnya.
Untuk itu, Julius mendesak pemerintah untuk mengubah atau menghapus UU privatisasi tersebut karena dalam substansi UU tersebut terkesan negara dikuasai pihak swasta.
“Kita bisa berpatokan pada bunyi Pasal 33 UUD 1945 yang mengatakan, semua kekayaan alam dan segala isinya dikuasai oleh negara. PLN adalah infrastruktur negara, bukan swasta. Ini artinya, rakyat membeli dari swasta bukan negara dan imbasnya kelayakan harga tidak kita rasakan. Pasalnya, swasta mencari untung,” cetusnya.
Sumber : MIGASNEWS
Subscribe to:
Posts (Atom)