Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan) pada Senin (12/10) siang. Pemohon adalah Adri dan Eko Sumantri selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPP Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) yang menguji Pasal 10 ayat (2), Pasal 16 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan.
Pada sidang tersebut, Pemohon menyampaikan sejumlah perbaikan dari permohonannya. Terkait pokok permohonan, Pemohon menegaskan bahwa Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. “Bahwa Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan, terdapat pembagian usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang menyebabkan PLN tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang kuasa usaha perlistrikan, tapi menjadi bagian perusahaan-perusahaan yang dapat melakukan usaha tenaga listrik untuk kepentingan umum,” papar kuasa hukum Pemohon Muhammad Fadrian Hadi Sutianto, di Ruang Sidang MK.
Selain itu, ungkap Sutianto, terdapat penambahan pasal yang diujikan, yakni Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan. Pemohon menganggap, sepanjang frasa “badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang tenaga listrik” dalam Pasal Pasal 11 ayat (1) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut memberikan peluang kepada badan usaha swasta, koperasi dan swadaya masyarakat untuk berusaha di bidang tenaga listrik, padahal seharusnya hanya PLN yang berhak melakukannya.
“Sementara ketenagalistrikan dalam hal ini merupakan kebutuhan dasar yang memiliki kepentingan dan wajib untuk dipenuhi karena tersangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, hanya BUMN dalam hal ini PLN yang dapat melakukan usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum,” tegas Sutianto kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
Sebagaimana diketahui, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 10 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (5), Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagalistrikan telah mengakibatkan hajat hidup orang banyak dapat dikuasai oleh korporasi swasta nasional, multinasional dan perorangan. Bahkan, ketentuan tersebut dapat mengakibatkan negara tidak memiliki kekuasaaan atas tenaga listrik.
Menurut Pemohon, materi muatan ketentuan yang diujikan tersebut memuat mengenai pengelolaan dalam penyediaan usaha tenaga listrik secara terpisah (unbundling) dengan menerapkan prinsip usaha yang sehat untuk memupuk keuntungan usaha, perlakuan tarif tenaga listrik yang berbeda setiap wilayah usaha, dan membuka selebar-lebarnya peran serta korporasi swasta nasional, multinasional, maupun perorangan untuk mengelola dan mengusai tenaga listrik. Pemohon menganggap, ketentuan tersebut merupakan pengulangan dari Pasal 8 ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (3), serta Pasal 68 Undang-Undang No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK dalam Putusan Perkara No. 001-021-022/PUU-I/2003.
Selain itu menurut Pemohon, frasa ”prinsip usaha sehat” dalam Pasal 33 ayat (1) dan frasa ”secara berbeda” dalam Pasal 34 ayat (5) UU Ketenagalistrikan mencerminkan adanya semangat bahwa dalam hal harga jual tenaga listrik maupun tarif tenaga listrik untuk konsumen, maka pemerintah dan pemerintah daerah memerhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Berdasarkan hal itu, kemudian Pemohon menganggap bahwa ada variabel yang memengaruhi harga jual tenaga listrik, yakni nilai keuntungan bagi badan usaha dan adanya potensi terjadinya kartelisasi, sehingga tarif tenaga listrik akan mahal. (Nano Tresna Arfana/IR)
Sumber : www.mahkamahkonstitusi.go.id